Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Lihat saja, lagu-lagu Indonesia sudah banyak yang berlirik bahasa Inggris, dialog-dialog di sinetron dan film memakai selipan bahasa Inggris, ngobrol dengan teman memakai bahasa Inggris, bahkan memesan kopi di angkringan Jogja pun sudah bisa memakai bahasa Inggris, “Pak Jo, black coffee, please!“. Memang bukan hal salah dan buruk bila bahasa Inggris merasuki kehidupan sehari-hari kita, justru itu membuatnya semakin berwarna. Tetapi penggunaannya juga harus disesuaikan dengan waktu, tempat, dan tujuan. Di kelas, memang tempatnya. Di kantor, urusan bisnis. Di kelompok belajar, untuk belajar.
Lalu bagaimana dengan para pemuda jaman perjuangan dulu yang mengambil sumpahnya tanpa persetujuan kita yang semakin hari semakin tidak tahu (dan tidak mau memakai) bahasa Indonesia yang baik dan benar? Meski demikian, sumpah itu bukan tanpa tujuan. Mereka tentunya juga telah mengkalkulasi hal yang terjadi di masa ini. Justru karena itulah mereka bersumpah bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan kita. Bahasa yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Bahasa yang bisa menunjukkan kebanggaan kita. Karena memang dari bahasa lah sebuah eksistensi sebuah bangsa dapat terlihat. Demikianlah sebuah sumpah tentang nasionalisme.
Di saat kita prihatin dengan bahasa Inggris yang sudah mulai menggeser posisi bahasa Indonesia, ada saja yang ikut memperparah keadaan. Ya, apalagi kalau bukan bahasa gaul? Bahasa yang entah datang dari mana ini menjadi suatu imej baru bagi mereka yang ingin dicap gaul. Sedangkan gaul sendiri entah apa artinya. Kata secara digunakan tidak pada tempatnya dengan sengaja, ’saya’ dirubah menjadi akika atau eike, belum lagi mene ketehe’, bo’, sumpe lo, dan istilah-istilah lain yang entah diciptakan siapa. Tapi memang harus diakui bahwa istilah-istilah gaul ini cukup ampuh sebagai tagline iklan-iklan komersil. Dan sebenarnya saya pun termasuk salah satu yang terjangkit gaulisme ini dengan ikut-ikutan memakai istilah yang hanya dimengerti sejumput orang tertentu, seperti cenger dan ciplokanong. Entah apa artinya.
Sekarang coba bayangkan bila dalam beberapa tahun ke depan semua orang berbicara dalam bahasa Inggris yang dicampur bahasa gaul dan bahasa Indonesia menjadi suatu hal yang langka di kalangan anak muda. Lantas di mana identitas sebagai bangsa Indonesia? Ingin seperti negara Commonwealth, tidak bisa karena tidak semua orang Indonesia bisa berbahasa Inggris. Mengaku sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat dan mempunyai rasa nasionalisme tinggi juga bukan, karena semakin sedikit orang yang bangga berbahasa Indonesia. Lalu apakah kita harus menjadi Negara Gaul? by:P'Ab
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Lihat saja, lagu-lagu Indonesia sudah banyak yang berlirik bahasa Inggris, dialog-dialog di sinetron dan film memakai selipan bahasa Inggris, ngobrol dengan teman memakai bahasa Inggris, bahkan memesan kopi di angkringan Jogja pun sudah bisa memakai bahasa Inggris, “Pak Jo, black coffee, please!“. Memang bukan hal salah dan buruk bila bahasa Inggris merasuki kehidupan sehari-hari kita, justru itu membuatnya semakin berwarna. Tetapi penggunaannya juga harus disesuaikan dengan waktu, tempat, dan tujuan. Di kelas, memang tempatnya. Di kantor, urusan bisnis. Di kelompok belajar, untuk belajar.
Lalu bagaimana dengan para pemuda jaman perjuangan dulu yang mengambil sumpahnya tanpa persetujuan kita yang semakin hari semakin tidak tahu (dan tidak mau memakai) bahasa Indonesia yang baik dan benar? Meski demikian, sumpah itu bukan tanpa tujuan. Mereka tentunya juga telah mengkalkulasi hal yang terjadi di masa ini. Justru karena itulah mereka bersumpah bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan kita. Bahasa yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Bahasa yang bisa menunjukkan kebanggaan kita. Karena memang dari bahasa lah sebuah eksistensi sebuah bangsa dapat terlihat. Demikianlah sebuah sumpah tentang nasionalisme.
Di saat kita prihatin dengan bahasa Inggris yang sudah mulai menggeser posisi bahasa Indonesia, ada saja yang ikut memperparah keadaan. Ya, apalagi kalau bukan bahasa gaul? Bahasa yang entah datang dari mana ini menjadi suatu imej baru bagi mereka yang ingin dicap gaul. Sedangkan gaul sendiri entah apa artinya. Kata secara digunakan tidak pada tempatnya dengan sengaja, ’saya’ dirubah menjadi akika atau eike, belum lagi mene ketehe’, bo’, sumpe lo, dan istilah-istilah lain yang entah diciptakan siapa. Tapi memang harus diakui bahwa istilah-istilah gaul ini cukup ampuh sebagai tagline iklan-iklan komersil. Dan sebenarnya saya pun termasuk salah satu yang terjangkit gaulisme ini dengan ikut-ikutan memakai istilah yang hanya dimengerti sejumput orang tertentu, seperti cenger dan ciplokanong. Entah apa artinya.
Sekarang coba bayangkan bila dalam beberapa tahun ke depan semua orang berbicara dalam bahasa Inggris yang dicampur bahasa gaul dan bahasa Indonesia menjadi suatu hal yang langka di kalangan anak muda. Lantas di mana identitas sebagai bangsa Indonesia? Ingin seperti negara Commonwealth, tidak bisa karena tidak semua orang Indonesia bisa berbahasa Inggris. Mengaku sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat dan mempunyai rasa nasionalisme tinggi juga bukan, karena semakin sedikit orang yang bangga berbahasa Indonesia. Lalu apakah kita harus menjadi Negara Gaul? by:P'Ab
Komentar
Posting Komentar